Ketika terjadi
kecelakaan KA di St Petarukan, Pemalang, 2 Oktober 2010 lalu, nama Slamet
Suradio diungkit lagi setelah menghilang. Masinis yang berumur 71 tahun ini
seperti hilang ditelan bumi.
MENCARI
Slamet Suradio di Purworejo memang tidak mudah.Radar Jogja (Jawa Pos Group) tak
punya alamat detail rumahnya. Bahkan, nama masinis yang pernah menggemparkan
Indonesia itu tidak terdata di PT KA (Kereta Api) Kutoarjo.
Petugas di Stasiun Besar Kutoarjo malah terkejut saat diberita tahu bahwa
masinis KA 225 (Rangkasbitung-Jakarta) yang terlibat tabrakan dengan KA 220
(Tanah Abang-Merak) dan menewaskan 156 orang itu tinggal di Purworejo.
Alamat Slamet akhirnya ditemukan di Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil
Kabupaten Purworejo. Slamet Suradio tercatat sebagai warga RT 01, RW 02, Dusun
Krajan Kidul, Desa Gintungan, Kecamatan Gebang, Purworejo.
Saat didatangi di rumahnya Senin (4/10), laki-laki yang oleh warga sekitar
lebih akrab disapa Slamet Bintaro itu sedang tidak ada. Rumahnya sepi.
Tetangganya memberi tahu bahwa Slamet sedang berjualan rokok keliling di
perempatan besar dekat BRI Cabang Kutoarjo (bukan berjualan rokok di rumah
seperti diberitakan kemarin, Red).
Tapi, ketika pangkalan Slamet didatangi, bapak tiga anak itu ternyata sudah
pergi. "Wong, barusan dia di sini. Mungkin masih di sekitar sini
saja," kata seorang tukang becak.
"Lha itu" orang yang pakai baju biru berjalan ke timur. Ya, itu
Slamet Bintaro," tambah si tukang becak sambil menunjuk ke arah pria gaek
yang berjalan sambil membawa kotak rokok di dadanya.
Slamet yang mengenakan baju biru lusuh dan topi biru berjalan di trotoar
dengan tertatih-tatih. Di pundaknya tergantung tas berisi beberapa bungkus
rokok yang dijual keliling. Dia kaget ketika disapa dengan nama "Slamet
Bintaro". Namun, setelah diajak makan di sebuah warung, dengan antusias
Slamet menceritakan tragedi kecelakaan kereta yang terjadi pada Senin Pon, 19
Oktober 1987, pukul 07.30 tersebut. Tabrakan frontal dua KA itu dianggap sebagai
kecelakaan terburuk dalam sejarah perkeretaapian Indonesia. Selain menewaskan
156 orang, tabrakan tersebut melukai sekitar 300 penumpang lainnya.
Dalam kasus itu, Slamet akhirnya dihukum lima tahun penjara. Begitu bebas
dari Lapas Cipinang pada 1993, Slamet masih boleh ngantor, meski hanya disuruh
apel pagi. Namun, pada 1994, dia diberhentikan dengan tidak hormat. Secara
otomatis dia tidak mendapatkan uang pensiun. Padahal, Slamet mulai mengabdi di
PJKA (kini PT KA, Red) sejak 1964 dan mulai 1971 menjadi masinis.
"Pengabdian saya selama puluhan tahun seperti tidak berarti,"
ujar suami Tuginem, 45, itu dengan nada kelu. Tuginem merupakan istri kedua
Slamet. Istri pertamanya, Kasmi, kawin lagi dengan masinis kawan Slamet ketika
laki-laki berkulit hitam legam itu menjalani hukuman di Lapas Cipinang.
Slamet kemudian membongkar isi tas cangklongnya. Selain rokok, ternyata
Slamet ke mana-mana membawa "surat-surat penting" yang menjadi saksi
bisu pengabdian dirinya sebagai masinis. Di antaranya, surat tanda pengenal masinis
dan surat pemberhentian dirinya oleh Kementerian Perhubungan.
Dia tampak terluka. Selain merasa menjadi kambing hitam dalam tragedi
Bintaro, dia mendapatkan tekanan dari mana-mana. Dia menjalani pemeriksaan yang
melelahkan dan membuatnya stres.
Dia juga tiga kali pindah rumah sakit saat menjalani pengobatan luka-luka
akibat kecelakaan itu. Pertama, dia dirawat di RS Pelni Jakarta. Namun,
lantaran mendapat teror dari massa "korban Bintaro", Slamet kemudian
diamankan dan dipindahkan ke RS Cipto Mangunkusuma, sebelum dipindah lagi ke RS
Kramat Jati. Di ICU RS Kramat Jati, Slamet dirawat tiga bulan. Selama menjalani
perawatan itu, dia masih sering dimintai keterangan oleh aparat kepolisian.
"Bahkan, saya pernah diinterograsi dengan todongan pistol agar mengakui
apa yang tidak saya lakukan. Namun, saya tetap kukuh karena saya menjalankan
kereta setelah mendapat sinyal aman ketika masuk Bintaro. Saya sempat bilang,
tembak saja Pak. Saya rela mati karena saya merasa tidak melakukan
kesalahan," paparnya mengenang.
Meski demikian, Slamet Bintaro tetap menjadi terdakwa. Jaksa penuntut umum
di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan saat itu menuntut Slamet dengan hukuman 14
tahun penjara. Namun, hakim menjatuhi hukuman 5 tahun penjara.
Setelah bebas dari Lapas Cipinang, Slamet Bintaro pulang ke kampung
halaman, menemani istrinya yang bekerja sebagai buruh dan perajin emping.
Slamet memilih berprofesi menjadi pengasong rokok keliling untuk mengisi
hari-harinya. Di perempatan BRI Kutoarjo yang letaknya tidak jauh dari Stasiun
Kutoarjo, saban hari dia dia menghabiskan waktu bersama para tukang becak dan
tukang ojek yang mangkal di situ.
"Yang penting, pekerjaan saya halal. Saya tidak mencuri dan
korupsi," tutur Slamet yang sehari rata-rata hanya mendapatkan penghasilan
sekitar Rp 5.000.
Sumber :Radar Jogja
Sungguh, menjadi masinis adalah
pekerjaan yang mempunyai tanggung jawab yang sangat berat. Nyawa beratus-ratus
orang berada ditangannya. Sedikit kelalaian yang ia lakukan bisa menewaskan
berpuluh-puluh orang bahkan sampai beratus-ratus orang.
PPKA dan masinis haruslah mempunyai koordinasi yang sangat erat, tanpa koordinasi, mereka dapat menghilangkan nyawa para penumpangnya.
PPKA dan masinis haruslah mempunyai koordinasi yang sangat erat, tanpa koordinasi, mereka dapat menghilangkan nyawa para penumpangnya.
Semangat buat para masinis dan semua petugas PT.KAI !!
Maju terus Perkeretaapian Indonesia !! \(^_*)/
Maju terus Perkeretaapian Indonesia !! \(^_*)/