Rabu, 09 Mei 2012

SECUIL CERITA MASINIS KA TRAGEDI BINTARO

            Ketika terjadi kecelakaan KA di St Petarukan, Pemalang, 2 Oktober 2010 lalu, nama Slamet Suradio diungkit lagi setelah menghilang. Masinis yang berumur 71 tahun ini seperti hilang ditelan bumi.
            MENCARI Slamet Suradio di Purworejo memang tidak mudah.Radar Jogja (Jawa Pos Group) tak punya alamat detail rumahnya. Bahkan, nama masinis yang pernah menggemparkan Indonesia itu tidak terdata di PT KA (Kereta Api) Kutoarjo.
Petugas di Stasiun Besar Kutoarjo malah terkejut saat diberita tahu bahwa masinis KA 225 (Rangkasbitung-Jakarta) yang terlibat tabrakan dengan KA 220 (Tanah Abang-Merak) dan menewaskan 156 orang itu tinggal di Purworejo.
Alamat Slamet akhirnya ditemukan di Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kabupaten Purworejo. Slamet Suradio tercatat sebagai warga RT 01, RW 02, Dusun Krajan Kidul, Desa Gintungan, Kecamatan Gebang, Purworejo.
Saat didatangi di rumahnya Senin (4/10), laki-laki yang oleh warga sekitar lebih akrab disapa Slamet Bintaro itu sedang tidak ada. Rumahnya sepi. Tetangganya memberi tahu bahwa Slamet sedang berjualan rokok keliling di perempatan besar dekat BRI Cabang Kutoarjo (bukan berjualan rokok di rumah seperti diberitakan kemarin, Red).
Tapi, ketika pangkalan Slamet didatangi, bapak tiga anak itu ternyata sudah pergi. "Wong, barusan dia di sini. Mungkin masih di sekitar sini saja," kata seorang tukang becak.
"Lha itu" orang yang pakai baju biru berjalan ke timur. Ya, itu Slamet Bintaro," tambah si tukang becak sambil menunjuk ke arah pria gaek yang berjalan sambil membawa kotak rokok di dadanya.
Slamet yang mengenakan baju biru lusuh dan topi biru berjalan di trotoar dengan tertatih-tatih. Di pundaknya tergantung tas berisi beberapa bungkus rokok yang dijual keliling. Dia kaget ketika disapa dengan nama "Slamet Bintaro". Namun, setelah diajak makan di sebuah warung, dengan antusias Slamet menceritakan tragedi kecelakaan kereta yang terjadi pada Senin Pon, 19 Oktober 1987, pukul 07.30 tersebut. Tabrakan frontal dua KA itu dianggap sebagai kecelakaan terburuk dalam sejarah perkeretaapian Indonesia. Selain menewaskan 156 orang, tabrakan tersebut melukai sekitar 300 penumpang lainnya.
Dalam kasus itu, Slamet akhirnya dihukum lima tahun penjara. Begitu bebas dari Lapas Cipinang pada 1993, Slamet masih boleh ngantor, meski hanya disuruh apel pagi. Namun, pada 1994, dia diberhentikan dengan tidak hormat. Secara otomatis dia tidak mendapatkan uang pensiun. Padahal, Slamet mulai mengabdi di PJKA (kini PT KA, Red) sejak 1964 dan mulai 1971 menjadi masinis.
"Pengabdian saya selama puluhan tahun seperti tidak berarti," ujar suami Tuginem, 45, itu dengan nada kelu. Tuginem merupakan istri kedua Slamet. Istri pertamanya, Kasmi, kawin lagi dengan masinis kawan Slamet ketika laki-laki berkulit hitam legam itu menjalani hukuman di Lapas Cipinang.
Slamet kemudian membongkar isi tas cangklongnya. Selain rokok, ternyata Slamet ke mana-mana membawa "surat-surat penting" yang menjadi saksi bisu pengabdian dirinya sebagai masinis. Di antaranya, surat tanda pengenal masinis dan surat pemberhentian dirinya oleh Kementerian Perhubungan.
Dia tampak terluka. Selain merasa menjadi kambing hitam dalam tragedi Bintaro, dia mendapatkan tekanan dari mana-mana. Dia menjalani pemeriksaan yang melelahkan dan membuatnya stres.
Dia juga tiga kali pindah rumah sakit saat menjalani pengobatan luka-luka akibat kecelakaan itu. Pertama, dia dirawat di RS Pelni Jakarta. Namun, lantaran mendapat teror dari massa "korban Bintaro", Slamet kemudian diamankan dan dipindahkan ke RS Cipto Mangunkusuma, sebelum dipindah lagi ke RS Kramat Jati. Di ICU RS Kramat Jati, Slamet dirawat tiga bulan. Selama menjalani perawatan itu, dia masih sering dimintai keterangan oleh aparat kepolisian.
"Bahkan, saya pernah diinterograsi dengan todongan pistol agar mengakui apa yang tidak saya lakukan. Namun, saya tetap kukuh karena saya menjalankan kereta setelah mendapat sinyal aman ketika masuk Bintaro. Saya sempat bilang, tembak saja Pak. Saya rela mati karena saya merasa tidak melakukan kesalahan," paparnya mengenang.
Meski demikian, Slamet Bintaro tetap menjadi terdakwa. Jaksa penuntut umum di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan saat itu menuntut Slamet dengan hukuman 14 tahun penjara. Namun, hakim menjatuhi hukuman 5 tahun penjara.
Setelah bebas dari Lapas Cipinang, Slamet Bintaro pulang ke kampung halaman, menemani istrinya yang bekerja sebagai buruh dan perajin emping. Slamet memilih berprofesi menjadi pengasong rokok keliling untuk mengisi hari-harinya. Di perempatan BRI Kutoarjo yang letaknya tidak jauh dari Stasiun Kutoarjo, saban hari dia dia menghabiskan waktu bersama para tukang becak dan tukang ojek yang mangkal di situ.
"Yang penting, pekerjaan saya halal. Saya tidak mencuri dan korupsi," tutur Slamet yang sehari rata-rata hanya mendapatkan penghasilan sekitar Rp 5.000.
Sumber :Radar Jogja

            Sungguh, menjadi masinis adalah pekerjaan yang mempunyai tanggung jawab yang sangat berat. Nyawa beratus-ratus orang berada ditangannya. Sedikit kelalaian yang ia lakukan bisa menewaskan berpuluh-puluh orang bahkan sampai beratus-ratus orang.
PPKA dan masinis haruslah mempunyai koordinasi yang sangat erat, tanpa koordinasi, mereka dapat menghilangkan nyawa para penumpangnya.
Semangat buat para masinis dan semua petugas PT.KAI !!
Maju terus Perkeretaapian Indonesia !!  \(^_*)/


TRAGEDI BINTARO 1987


Tragedi Bintaro adalah tragedi tabrakan 2 kereta api di daerah Pondok Betung, Bintaro, Tangerang pada tanggal 19 Oktober 1987 tepatnya pada hari Senin Pon. Kecelakaan ini terjadi di lengkungan “S” sekitar 200 meter dari palang pintu Pondokbetung dan 8 km sebelum stasiun Sudimara. Kecelakaan ini merupakan kecelakaan terburuk dalam sejarah perkeretaapian Indonesia. Bahkan peristiwa ini menyita perhatian publik dunia.
Berikut kronologis detik-detik menegangkan itu...
Pada hari Senin 19 Oktober 1987 pukul 06.45, ada dua kereta api ekonomi yang berjalan dengan arah yang berbeda. KA yang pertama adalah KA cepat (KA 220) jurusan Tanahabang-Merak yang ditarik oleh loko BB30616 dengan masinis Amung Sunarya dan asisten masinis Mujiono dengan penumpang kurang lebih 500 orang, kereta ini berada di jalur 2 Stasiun Kebayoran Lama dan akan bersilangan dengan kereta yang kedua yaitu KA lokal (KA 225) yang ditarik oleh loko BB30316 jurusan Rangkasbitung-Jakartakota yang dipimpin oleh masinis Slamet Suradio serta asisten masinis Soleh di jalur 3 Stasiun Sudimara.
Di jalur 3 St Sudimara sendiri terdapat KA 1035 indocement dan di jalur 2 terdapat Gerbong Kosong Rusak. Mendapati hal tersebut, kepala PPKA St Sudimara (Djamhari) memberitahukan persilangan di St Kebayoran Lama. Namun, kepala PPKA St Kebayoran Lama (Umriyadi) menolah perpindahan persilangan KA dan tetap meminta persilangan dilakukan di St Sudimara, akhirnya persilanganpun dilakukan di St Sudimara.
Lalu Djamhari mengosongkan jalur 2 untuk menampung KA Cepat 220 yang telah diberangkatkan pukul 06.50 atas izin PPKA St Kebayoran Lama, dengan memindahkan KA 225 ke jalur 1. Djamhari memerintahkan Juru Langsir untuk melangsir KA 225 ke jalur 1. Kemudian untuk memberi peringatab kepada Masinis dan penumpang,  Juru langsir mengibaskan Bendera Merah menuju Lokomotif KA 225 dan meniup peluit Semboyan 46 tanpa membatalkan perintah persilangan yang “terlanjur” diberikan kepada Masinis KA 225.
Masinis KA 225 mendengar Semboyan 46 Juru Langsir tersebut, tetapi ia tidak dapat memastikan apakah telah ditunjukkan Semboyan 40 atau tidak (karena kondisi loko yg penuh sesak). Kemudian ia menanyakan kepada penumpang yg berdiri di luar loko, dan dijawab telah waktunya berangkat. Masinispun membunyikan Semboyan 41, disusul Semboyan 35. Ia tidak dapat menyadari bahwa belum diberikan Semboyan 40 oleh PPKA St Sudimara. Dan celakanya, ia mengira itu adalah semboyan yang telas diberikan PPKA untuk memberangkatkan KA (berdasar jawaban penumpang), padahal itu adalah Semboyan 46 untuk melangsir KA.
Akhirnya pukul 07.00 KA 225 pun berangkat tanpa izindari PPKA St Sudimara menuju “tujuan yang tak kan pernah tercapai”. Kontan semua petugas St Sudimara panik hebat, terutama Juru Langsir yang kemudian mengejar KA 225 dan berhasil naik di Gerbong paling belakang. Beberapa petugas KA pun mengejar dengan motor. Djamhari pun mengibas-ngibaskan Bendera Merah dan menaikturunkan Sinyal Palang KA yang menggerakkan Sinyal Masuk arah Kebayoran Lama. Tapi tak satupun terlihat oleh Masinis KA 225. Kamuduan Djamhari pun mengejar KA 225 dan berteriak, “tolong.... Pasti tabrakan...tolong...Pasti tabrakan!!” Namun tak satupun usahanya membuahakn hasil, dan ia kembali ke St Sudimara dan menghubungi PPKA St Kabayoran Lam agar mengusahakan KA Cepat 220 diberhentikan di Palang Pintu Pondokbetung.
Djamhari akhirnya mencoba usaha terakhirnya dengan membunyikan Semboyan Bahaya ke Bel Genta Perlintasan. Namun sialnya, Petugas Palang Pintu Pondokbetung tidak hafal Semboyan Genta dan menanggapinya sebagai Bel Gebta Percobaan. Akibatnya fatal, KA Cepat 220 berjalan lurus melewati Palang Pintu Pondokbetung tanpa diberhentikan oleh Petugas Palang Pintu Pondokbetung.
200 meter kemudian, Malaikat Maut pun turun ke bumi. KA 225 telah 8 km meninggalkan St Sudimara dan berjalan Half-Speed (45km/h), dan KA Cepat 220 berjalan Low-Speed (25km/h). Mereka bertemu di lengkunagn “S”. Masinis KA 225, Slamet Suradio terkejut melihat KA Cepat 220, dan berusaha mengerem KA. Secara teoritis, hal tersebut tak akan berhasil, karena KA pada kecepatan 50km/h saja membutuhkan 400 meter untuk dapat berhenti dengan total.
Pukul 07.10 suara benturan sangat keras mengiringi saling bertabrakannya kedua KA. Masinis dan Asisten KA Cepat 220 selamat, karena berjongkok dilantai Lokomotif. Namun Masinis dan Asisten KA 225 Lluka parah. Karena massa yang sangat besar, mengakibatkan masing-masing lokomotif seakan tertelan masing-masing Gerbong (sesuai dengan Telescopic Effect). Berdasarkan informasi dan Harian Suara Pembaruan, 72 orang tewas seketika, 200 lebih tewas karena sekarat, 300 lebih luka-luka.
            Tragedi ini sangat mengguncangkan Indonesia, terutama Jakarta. Dan dikategorikan sebagai kecelakaan terbesar se-Indonesia. Sebelumnya, tanggal 20 September 1968, kecelakaan serupa pernah terjadi di Desa Ratujaya, Depok (sekitar 1km setelah St Depok), anatar Kereta Lambat, 116 orang tewas seketika, dan 67 orang luka-luka.
            Impak dari tragedi ini, PJKA tidak tinggal diam, bebrapa operasi penertiban segera dilaksanakan. Selain penertiban penumpang juga melaksanakan penertiban sarana prasarana, yaitu seperti pemasangan radio di lokomotif (pada waktu kejadian masih sedikit loko di Indonesia yg memiliki radio). Selain itu diantara St Sudimara dan St Kebayoran Lama dibangun stasiun baru (Pondok Ranji). Sistem persinyalan di daerah inipun diperbarui dengan mengubah sistem persinyalan mekanik menjadi elektrik. Namun, efek terbesar dari kejadian ini yaitu dibangunnya double track besar-besaran. Ironisnya, double track ini baru ter-realisasi tahun 2007.
            Ohya, tragedi ini ada filmnya lhoo..
            tapi belum sempat nyari juga siih.. :D
Ini nih cover CD film nyaa :D

Sedikit Catatan saja, informasi bagi yg belum paham tentang Semboyan :
1.      Semboyan 35 : ketika masinis membunyikan Horn (klakson) KA, sebagai tanda KA akan berangkat.
2.      Semboyan 40 : Ketika petugas peron memberikan sinyal hijau kepada kondektur KA, tanda jalur telah aman.
3.      Semboyan 41 : Ketika kondektur membunyikan peluit sebagai respon atas dimengertinya Semboyan 40 yang telah diberikan.
4.      Semboyan 46 : Ketika Juru Langsir meniup peluit dan mengibaskan Bendera Merah, sebagai tanda kepada masinis dan penumpang bahwa KA akan segera dilangsir.